MENYOROT PENGUATAN KARAKTERISTIK EKONOMI SYARIAH MELALUI PERAN IAEI CATATAN MENYONGSONG MUKTAMAR V IAEI 2024

MENYOROT PENGUATAN KARAKTERISTIK EKONOMI SYARIAH

MELALUI PERAN IAEI

Catatan Menyongsong MUKTAMAR V IAEI 2024

 

Oleh Prof. Dr. Arfin Hamid., M.Si

 

Penulis :

-GB Hukum Islam dan Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) UNHAS Makassar

-Anggota DSN MUI dan DPS Bank Syariah di Makassar

-Dewan Pakar ADHII (Asosiasi Dosen Hukum Islam Indonesia)

-Dewan Pakar APPHEISI (Asosiasi Pengajar dan Peneliti Hukum Ekonomi Islam Indonesia

 

 

Dengan menyimak eksistensi dan perkembangan ekonomi syariah (iqtishad) dapat dikemukakan beberapa hal terkait, sebagai berikut.

  1. Perjuangan pembumian ekonomi syariah di tanah air telah berlangsung sekitar empat puluh tahunan melalui pengkajian dari berbagai kalangan pemerhati ekonomi yang berbasis ajaran Islam. Pengkajian itu berujung pada dibentuknya Bank Muamalah Indonesia pada tahun 1991 oleh ICMI, MUI dan Pemerintah Orba bersama ulama, tokoh, umat Islam lainnya. Perjuangan terpadu itu menghasilkan rumusan-rumusan yang diturunkan dari nash-nash syariah yang sudah lama terpendam dalam khasanah keilmuan Islam. Khasanah yang terpendam itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang betul-betul tersembunyi bagai mencari sebongkah kecil intan yang terpendam. Melainkan sudah diartikulasikan dalam berbagai kesempatan oleh para ulama, muballig dan para pemerhati Islam, namun khasanah atau ilmu muamalah/iqtishad itu sangat dinormatifkan, bahkan dikembalikan lagi menjadi ajaran langit, padahal syariah itu dari langit (anzalnahu), idealnya tidak perlu lagi dikembalikan ke langit, melainkan dibumikan.

 

Disinilah peran signifikan para ahli/pakar/pengkaji untuk mem-breakdown nash-nash syariah (Alquran dan Assunnah) agar menjadi ilmu yang applicable dalam kehidupan nyata, agar terhindar dari kejumudan-kejumudan. Sementara pada sisi lainnya kehadiran dan kemampuan para pemikir dan pemerhati ipteks modern sungguh melaju dengan pagadigma rasionalitasnya menerobos, membelah, dan membedah alam berserta segala isinya tanpa dan bahkan mengabaikan wahyu, itu semata-mata karena kemampuan dan keingintahuannya yang mendalam, dan berhasil meraihnya seperti capaian industry 4,0, AI, Bigdata, dan seterusnya.

Sebenarnya materi iqtishad itu sudah memadai dari pesan-pesan Rasulullullah dan para ulama telah tertuang dalam ribuan kitab fikih sejak awal di dalamnya sudah dibahas seperti bab al- Amwal (pengelolaan asset), babu at-Tijarah (ekonomi-bisnis), bab al-Uqud (kontrak bisnis), bab al-Mudharabah, akad tabarru (nonkomersil) dan seterusnya.

Khasanah ilmu iqtishad itu begitu relevan dengan zamannya, yang harus terus diaktualisasikan dan dikontekstualisasikan agar roh dan spiritnya juga terus selaras dengan perkembangan dan kebutuhan kemanusiaan mengikuti zamannya.

 

  1. Tantangan terkini bagi Ahli Ekonomi Islam (AEI) atau Ahli Ekonomi Syariah (AES) adalah keharusan untuk menampilkan profil ekonomi syariah itu secara utuh dan mandiri baik secara epistemologis, ontologis dan aksiologis. Sehingga Sistem Ekonomi Syariah (SES) menjadi dapat disandingkan dengan sistem ekonomi besar dunia saat ini liberal/kapital, sosialis/komunis, welfare state, dan mix system, tanpa ada keraguan lagi. Di tengah-tengah kecemerlangan ilmu-ilmu empiric khususnya economic science yang hampir merajai pola perekonomian dunia saat ini telah memanifestasikan beberapa pandangan dalam menyikapinya, seperti masih secara linear dan konsisten memandang iqtihad/ekonomi itu berasal dan terbangun dari Alquran dan Assunnah (syariah) serta ijtihad/fikih bukan terlahir dari sistem yang ada dan berkembang dalam kehidupan manusia atau dilahirkan berdasarkan paradigma filasafat kemanusiaan, atau terlahir secara evolusi dan revolusi, secara politis serta sosiologis sepanjang peradaban dunia. Inilah pandangan yang dikenal sebagai kalangan mazhab iqtishaduna, meskipun sangat melangit. Pandangan ini secara substansi sangat relevan untuk diaktualisasikan dan dibumikan sebagai ide yang orisinal berbasis qurani dan humanisme islami.

Disini letak peran AES yang harus ditonjolkan sesuai kebutuhan literasi keilmuan iqtishad  bukan lagi tahapan pengenalan melainkan sudah menginjak tahapan penguatan karakteristik AES yang utuh, mandiri dan komprehensif (kaffah) siap disandingkan dengan sistem ekonomi liberal/kapital, socialism, komunism, welfarestate, dan sistem campuran. Sehingga, beberapa pendekatan dalam pengembangan ilmu iqtishad ini sudah perlu dievaluasi karena sudah kurang relevan, seperti pendekatran islamisasi ilmu ekonomi empiric, dan lainnya.

Untuk itulah, tantangan dan kehadiran sosok ahli yang memiliki kapasitas kombinatif menjadi sebuah keniscayaan, memiliki kapasitas keilmuan syariah dan fikih iqtishad dan juga memiliki kemampuan dalam ilmu ekonomi empirik. Sampai saat ini modal SDM yang umat Islam miliki dengan kapasitas mumpuni (ahli) adalah banyaknya fuqoha yang dibuktikan dengan peran dan karya nyata yang sampai saat ini begitu mudah kita dapatkan, berupa kitab-kitab fikih mu’tabarah sepanjang sejarah peradaban Islam.

Sementara ahli dan pemerhati ekonomi muslim yang mumpuni dalam penguasaan ekonomi empiric tentu dengan latar belakang keilmuan modern lebih terilhami dengan paradigma keilmuannya itu, sehingga lebih menekankan pada sisi pengarus-utamaan praktis ketimbang penguatan substantifnya. Pada substansi ekonomi syariah yang berbasis tauhid akan lebih konkret manakala dengan menekankan aspek positif pada ekonomi empiric dengan mengeliminasi sisi destruktifnya, kemudian dengan menambahkan muatan-muatan dan spirit syariah di dalamnya.  Mazhab ini didominasi para ahli penyokong pendirian IDB dan negara pendukungnya. Dalam kondisi ini peran IAESI menjadi semakin signifikan dan sudah barang tentu memerlukan proyeksi pengembangan yang terstruktur untuk mengantisipasi masa transisi kapasitas SDM ekonomi syariah itu.

Bagi umat Islam Indonesia keterpaduan antara ulama muamalah/iqtishad dengan pakar/ekonom empiric (konven) baik ahli maupun pengusaha bersama ICMI, MUI, Pemerintah Orba, Ormas Islam, dan para ulama serta para tokoh telah berhasil memulai penerapan ekonomi syariah dengan pendirian BMI sebagai bank Islam pertama di Indonesia. Tanpa melupakan urgensitas peran-peran semua pihak tersebut sebagai perjuangan awal dalam meresponi hegemoni sistem ekonomi konven, menjadi khasanah historic untuk memajukan dan mengembangkan sistem iqtishad ini yang lebih berkarakteristik, keharusan membangun SDM kompeten, penguatan sistem pengelolaan yang syar’iah, penguatan kelembangaan, pengembangan ilmu dan teori, peningkatan literasi, dan penyadaran inklusif umat dan masyarakat.

  1. Secara substantif profil pengembangan ekonomi syariah di Indonesia memperlihatkan “keajaiban”. Para pengkaji dan pejuang Iqtishad telah berhasil mendirikan BMI sebagai Bank Islam pertama, alhamdulillah luar biasa. Jika diandaikan dengan manusia, maka BMI itu adalah anak ajaib lahir tanpa melalui sosok ibu yang melahirkannya. Secara teori/ilmu dikenal adanya ilmu induk yang akan melahirkan ilmu aplikasinya. Lumrah dipahami bagaimanapun kondisinya bank adalah Lembaga praktis/operasional, yang idealnya sebelum dibentuk ilmu induknya harus dibangun/dimatangkan terlebih dahulu, yaitu ilmu ekonomi syariah (iqtishad) sebagai induk/payungnya. Namun yang terjadi ketika itu seolah-olah bank islam adalah segala-galanya, itulah ekonomi Islam, itulah usaha/bisnis Islam, itulah perintah syariah, maka berjuanglah menggolkan UU Bank Syariah selama 8 tahun baru berhasil. Setelahnya barulah disadari ternyata bank itu hanya Sebagian kecil dari ekonomi syariah itu, hanya salah satu bentuk dalam sistem ekonomi syariah, masih banyak yang lainnya seperti perdagangan, jasa, asuransi, pertanian, konstruksi, pertambangan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Dari kondisi itu tampak bertapa urgen dan strategis posisi ahli/pakar agar dapat memberikan pandangan konseptual-teoretik untuk suatu bidang tertentu yang menyeluruh. Jika pada saat itu ada pakar/ahli iqtishad yang mumpuni, maka yang diperjuangkan pertama-tama bukanlah UU Bank Syariah, melainkan  UU Pokok Sistem Ekonomi Syariah. Melalui UU Pokok ini akan menjadi payung hukum semua kegiatan ekonomi/bisnis yang berbasis syariah, tentu hal ini akan memudahkan bagi semua pihak yang akan memangun usaha berbasis syariah karena sudah memiliki payung regulasi yang kuat.

Jika kita menyimak baik-baik kondisi saat ini, betapa sulitnya mengembangkan usaha di bidang asuransi, pegadaian, pertanian, perdagangan, jasa, konstruksi, industry, medis, dll karena tidak memiliki payung hukum, karena yang ada payung hukumnya hanyalah bisnis perbankan. Dan negara pun hanya akan memberikan fasilitas jika memiliki payung regulasi yang kuat dan jelas.

Inilah contoh kasus betapa diperlukannya sosok ahli dalam strategi proyeksi program yang responsive dan proporsional ke depan. Dan diperkirakan bukanlah keterlambatan manakala IAESI/IAEII ini mencanangkan kajian akademik RUU Pokok Ekonomi Syariah ke depan yang akan menopang ekonomi syariah, karena betapa sulit dan mahalnya jika pada setiap bidang diperjuangkan undang-undangnya masing-masing.

  1. Secara teortetik, paradigma berfikir filsafati yang harus dibangun bukanlah filsafat sains yang telah memiliki pohon ilmu yang menempatkan ilmu ekonomi dan ilmu hukum (Syariah) pada cabang yang berbeda, dan secara epistemologis memang berbeda. Filsafat sains dibangun dari paradigma filsafat rasional, sementara ilmu muamalah iqtishad (ekonomi syariah) terbangun dari paradigma qurani dan islami sebagai karaktristik dasarnya, hal ini sudah saatnya  menjadi pola pikir inspiratif oleh para ahli dan pemerhati ekonomi syariah saat ini dan kedepan, terutama dalam mengisi kekosongan teori/ilmu dalam sistem ekonomi syariah, seperti ilmu iqtishad mikro dan makro, teori-teori iqtishad empiric,  yang pure terbangun dari Alquran, Assunnah, dan kaidah-kaidah fikih muamalah.
  2. Secara ontologis, dalam paradigma keilmuan Islam secara filsafati pohon ilmu Islam itu berpusat pada Syariah (hukum), yaitu segala ketentuan Allah yang mengatur segala aspek kehidupan yang lasim dikenal Ibadah-muamalah. Dan salah satu aspek dari muamalah itu adalah kewajiban bekerja/beramal/berekonomi/berbisnis. Dengan demikian posisi hukum/Syariah lebih tinggi dari bidang ekonomi/bisnis, bahkan bidang ekonomi itu sub dari bidang Syariah/hukum. Paradigma ini belum terbangun dengan baik dalam pengembangan ekonomi Syariah di tanah air. Salah satu indikasi ambiguitasnya teori iqtishad di kalangan pelaku dan pemerhati ekonomi syariah adalah istilah ‘ekonomi/economic” yang bukan istilah qurani dan bukan term syariah, tetapi dari Bahasa sansekerta Bahasa kuno dari Asia Selatan. Dengan menambah kata syariah/islam di belakang kata ekonomi, justeru mengundang ambiguitas makna, mungkin perlu dipopulerkan ke depan dengan satu istilah ‘Iqtishad’ padanan kata “ekonomi – economic”
  3. Pengembangan ekonomi Syariah ke depan manakala dikehendaki untuk menjadi tumpuan bagi masyarakat dunia, maka karakteristik spesifiknya harus dikedepankan. Pola pengembangan yang memosisikan Syariah sebagai sarana penjustifikasi atas teori-teori ekonomi konven tentu tidak relevan, bukan saja akan berdampak bahaya plagiasi, tetapi yang lebih utama akan merendahkan Alquran dan Assunnah. Pendekatan islamisasi ekonomi sudah perlu diimbangi dengan pendekatan integrative syari’iyah yang menampikan ilmu iqtishad itu berasal dari wahyu Allah tertuang dalam Alquran, Assunnah, Ijtihad, dan (Fatwa di Indonesia), dengan menjadikan ilmu-ilmu empiric (konven) sebagai sumber sekunder, bukan lagi sumber utama yang dijustifikasi oleh syariah seperti dalam islamisasi ilmu ekonomi.

Pendekatan yang relevan dalam pengembangan iqtishad ini adalah dengan penguatan kaidah al-urf dan al-adatu muhakkamah. Pengaktualisasian perluasan makna al-urf dan al-adah itu sudah urgen untuk dimunculkan dan lebih tepat digunakan dalam menghadapi hegemoni ekonomi konvesional. Pemaknaan urf dan adah secara umum dalam Islam adalah perilaku, kebiasaan, pola hidup yang di luar syariah yang dipandang baik (sahih) tidak menyalahi syariah, boleh diterima sebagai sesuatu yang sesuai syariah. Manakala ini diperluas maknanya, urf dan adah itu sangat relevan dalam bidang ekonomi (iqtishad) yang begitu luas, yang berarti semua ilmu/teori, model, rumus, sistem pelayanan, pofil, mitigasi risiko, program, yang bersumber dari ilmu ekonomi empiric, boleh diterima dan diterapkan sepanjang tidak menyalahi prinsip-prinsip syariah. Dengan pendekatan urf/adah ini otomatis juga menyelamatkan kita dari tindakan plagiasi dan tindakan menjustifikasi dengan ayat dan sunnah terhadap ilmu/teori ekonomi empiric, karena memerlukan metode dan proses analisis yang lazim dalam kaidah serta proses ijtihad. Perlu penelaahan kita lebih lanjut institusi IAEI/IAESI.

 

  1. Jika kita menyimak blue print pengembangan ekonomi Syariah ditanah air yang memprioritaskan penguatan institusi, sistem, peran Lembaga Keuangan Syariah, penguatan karakteristik ekonomi syariah, dan pelibatan masyarakat di dalamnya tampak mengalami kemajuan selain telah mengokohkan negara didalamnya, malalui KNEKS/KDEKS. Kini tuntutan penguatan sinergitas Eko-Sistem Ekonomi Syariah menjadi kebutuhan mendesak sebagaimana telah dituangkan dalam Masterplan Ekonomi dan Keuangan Syariah (MEKSI) 2025-2029 dan telah disinkronkan dengan RPJPN dan RPJMN. Menunjukkan posisi IAEI disamping DSN-MUI, MES, Pelaku Usaha, dan Ormas Islam, serta Pemerintah.  Sebagai salah satu unsur dalam eko-sistem ekonomi syariah dengan porsi tugas IAEI yang sangat penting, adalah penguatan karakteristik ekonomi syariah yang nanti dapat diaplikasikan pada semua bidang-bidang bisnis yang berbasis syariah.

 

Demikian beberapa catatan semoga memberikan manfaat. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Makassar, November 2024

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *