Law Enforcement bagi Pengusaha Sawit Pelanggar Kawasan Hutan
Pemimpin Kolaborasi Nasional Gerakan Kehutanan dan Perkebunan, Asociate Professor Agustianto mendesak Gakkum LHK setiap provinsi untuk menindak tegas setiap pengusaha sawit yang melanggar hukum kehutanan seperti kasus di Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan dan kasus Mega Korupsi 75 Triliun Surya Darmadi di Riau, pembukaan usaha sawit tanpa perizinan kehutanan sejak 2003-2022.
Saat ini ada ribuan pengusaha sawit seluas 3,3 juta ha, yang ditetapkan Kementerian LHK sebagai kegiatan usaha yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan. SK tersebut tahap 1 sampai 15.
Untuk itulah LKLH (Lembaga Konservasi Lingkungan Hidup), MASPERA (Masyarakat Peduli Agraria), IQTISHAD CONSULTING bekerjasama dengan Lembaga Nasional Aliansi Indonesia dan LBH Iqtishad Justice Indonesia, merangkul Kejaksaan Agung RI, KPK dan POLRI untuk menindak para pelanggar kehutanan.
Law Enforcement atau penegakan hukum bagi pengusaha sawit yang melanggar hukum, seharusnya dilakukan penindakan hukum yang tegas, agar memberikan efek jera dan efek deterrence kepada pelaku lain.
Menurut Direktur Eksekutif LBH Iqtishad Justice Indonesia, Dr. Budi Abdullah, SH., MH, “Dalam UU Cipta Kerja tidak ada pemutihan dan pengampunan bagi pengusaha sawit, tambang atau sarana pariwisata”. “Upaya penyelesaian terbangunnya usaha atau kegiatan sebelum UU Cipta Kerja di dalam kawasan hutan dilaukkan dengan pembayaran denda administrasi sebagai proses hukum administratif”, tegasnya.
Dalam UU Cipta Kerja, pendekatan hukum yang digunakan memang ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif.
Apabila sanksi administrasi dalam bentuk denda tidak dipenuhi, maka barulah melangkah ke sanksi penegakan hukum berikutnya, mulai dari pencabutan izin, penghentian usaha, dan paksaan pemerintah berupa penyitaan, paksa badan dan lelang”.
Namun harus diingat, meskipun solusi penyelesaian berazas ultimum remedium bukan berarti sanksi hukum hilang begitu saja.
”Pasal 110 A dan B UU Cipta Kerja mengatur kegiatan yang sudah terbangun dalam kawasan hutan”. Kalau ada pengusaha yang bermain-main dalam kawasan hutan setelah UU Cipta Kerja, seperti usaha kebun sawit dalam kawasan hutan tanpa memiliki perizinan atau persetujuan Menteri LHK, segeralah berhenti karena pasti langsung dikenakan sanksi pidana.
Untuk masyarakat kecil atau kelompok tani yang anggotanya hanya menguasai lahan di bawah 5 hektar dan bertempat tinggal lima tahun berturut-turut di dalam atau sekitar kawasan hutan, tidak dikenakan sanksi administratif dan diberikan solusi dalam bentuk akses legal melalui penataan kawasan hutan, namun ketentuan ini jangan disiasati secara curang dan melanggar hukum dengan cara memecah-mecah lahan hutan yang 200 ha misalnya, menjadi 4 ha dengan menggunakan dan meminjam nama dan KTP penduduk. Praktik mengelabui hukum seperti ini banyak terjadi di masyarakat.
Ketua Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, Luhut Binsar Pandjaitan, sebelumnya juga telah mengumumkan kepada publik bahwa para pengusaha sawit dalam kawasan hutan akan didata Pemerintah melalui Satgas Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara.
Menurut Luhut Panjaitan, perusahaan sawit itu harus melaporkan secara mandiri, bahkan beliau mengancam “jangan macam-macam, Pemerintah mempunyai citra satelit, jadi jangan coba-coba membohongi Pemerintah, jumlah sawit dalam kawasan hutan atau yang belum mempunyai izin usaha yang tidak bayar pajak cukup banyak. Dari lahan sawit seluas 16,8 juta hektar, akan didata dan diinvestigasi.
Kebijakan pemerintah tentang tata kelola industri sawit tersebut membuat banyak pengusaha sawit yang kasak kusuk, karena takut akan kehilangan kekayaannya.
Associaeta Professor Agustianto juga meresponi ungkapan Luhut Panjaitan, dan mengatakan hal yang sama. Selain itu, Sang Professor mengatakan bahwa “Lembaga konsultan yang mereka memiliki konsultan Citra Satelit Resolusi Tinggi dengan alat teknologi canggih dari Eropa, USA, Korea Selatan dan China”. Sehingga para pengusaha sawit tidak bisa mengelak dan membuat laporan bohong yang tidak sesuai dengan kenyataan, hal itu pasti ketahuan, tuturnya.
Menurut Dr. Budi Abdullah, SH, MH., Direktur LBH Iqtishad Justice Indonesia di Jakarta, “Berdasarkan UU Cipta Kerja, “Apabila lewat 6 bulan setelah 2 November 2023 pemilik kebun sawit dalam kawasan hutan, kalau tidak melaporkan ke Kemen LHK, maka akan dikenakan sanksi pidana”.
“Namun, apabila pemilik kebun sawit dalam kawasan hutan itu melaporkan sawit dan baru mengurus perizinan setelah tanggal 2 November, maka kepada pemilik kebun sawit itu hanya akan dikenakan sanksi administrasi, namun kalau tidak mengurus juga akan sesuai UU Cipta Kerja, maka terancam pidana”.