BISNIS SYARIAH DAN TRANSFORMASI EKONOMI DIGITAL

BISNIS SYARIAH DAN TRANSFORMASI EKONOMI DIGITAL

Oleh Agustianto
Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indoensia (IAEI) dan Sekjen AMPROSINDO
Transformasi  ekonomi digital di zaman  _now_ merupakan keniscayaan sejarah yang spektakuler. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah banyak merubah cara dan sistem berbisnis. Masyarakat global saat ini, termasuk Indonesia,  tengah memasuki era ekonomi digital tersebut.
Sejak tahun 2015, untuk pertama kalinya, besaran transaksi perdagangan global melalui internet (online) melebihi perdagangan barang secara konvensional, yaitu sebesar USD 2,9 T (Mckinsey Institute, 2016).  Kontribusi ekonomi digital terhadap output ekonomi global juga semakin besar yaitu sebesar 22%.
Mc Kinsey memprediksi besarnya  peningkatan kontribusi aplikasi teknologi  digital terhadap PDB global pada tahun 2020 sebesar USD 2 triliun.
Trend ekonomi dan kegiatan bisnis di  ASEAN melalui e-Commerce* akan  meningkat 15x lipat  selama sepuluh tahun (2015-2025) dengan  nilai USD 88 miliar yang meliputi perdagangan  apparel, electronics, household  goods, food/grocery.
Kegiatan bisnis  yang terkait dengan digital economytersebut telah menyerbu semua lini bisnis. Aplikasi ekonomi digital kian nyata, dengan munculnya berbagai macam start-up, perusahaan e-commerce, dan bisnis berbasis digital yang inovatif bahkan sudah sampai kepada mata uang digital (cryptocurrency)seperti bitcoin.
Dalam dunia bisnis dan keuangan telah berkembang financial technology secara massif.
Teknologi digital telah membawa umat manusia dalam quantum lompatan perekonomian yang dahsyat. Orang-orang menyebutnya sebagai disrupsi yaitu gangguan yang mengakibatkan industry  tak berjalan seperti biasa karena kemunculan kompetitor baru, yang mungkin tidak terlihat. Perusahaan-perusahaan kecil berbasis digital  tiba-tiba mengganggu  raksasa industri dan meruntuhkannya. Para pertahanan bisnis yang gagal move on, hampir pasti akan mati.
Transformasi yang ditampilkan ekonomi digital yang penuh inovatif dan  disruptif, di satu sisi terlihat mengganggu pasar yang sudah ada di banyak sector, mulai dari industri transportasi, perhotelan, hingga sector ritel, food dan sektor riel di dunia properti, tetapi di sisi lain ekonomi digital adalah peluang.
Di sinilah tantangan yang lebih nyata untuk diantisipasi, sekaligus dimanfaatkan, pada masa depan. Kita akan menatap masa depan, dengan paradigma baru dalam bidang bisnis, ekonomi, (perbankan, keuangan) bahkan dalam bidang birokrasi, regulasi, budaya kerja, dan perilaku konsumen.
Sejak 1997, Clayton M. Chriestensen, profesor administrasi bisnis dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, menulis buku terkenal dan menjadi rujukan, The Innovator Dilemma, When Technologies Cause Great Firm Fail. Dua puluh tahun kemudian teori yang di kembangkan oleh Chriestensen terbukti; bisa di saksikan dari runtuhnya Kodak, bahkan terpuruknya produsen telepon seluler Nokia.
Kemunculan  sebuah tata ekonomi baru berbasis digital;  mengakibatkan banyak perubahan-perubahan dalam banyak lini, termasuk perekonomian Indonesia.
Harus dipahami, bahwa disrupsi, tidak melulu bicara usaha-usaha rintisan oleh anak-anak muda, generasi milenial tetapi menyangkut semua lini yakni para petahana, bahkan juga cara birokrasi mengantisipasi dengan regulasi yang sesuai dengan zaman.
Masyarakat ekonomi syariah sudah barang tentu memainkan perannya dalam era digital economy baik dalam fintech maupun sektor riel dan perdagangan ritel termasuk pariwisata. Demikian pula Amprosindo sebagai wadah masyarakat properti syariah Indonesia, saat ini salah satu anggotanya sedang mengembangkan fintech di bidang properti syariah dengan nama syirkah atau kongsi kongsi. Insya Allah Saya ikut terlibat dalam perusahaan dan usaha fintech di bidang properti yang didirikan oleh Bapak Khaidir, salah seorang wakil ketua Umum AMPROSINDO.  Dalam dunia properti syariah ini adalah yang pertama di Indonesia.
Merujuk Amerika Serikat dan Korea Selatan, perputaran ekonomi negara-negara itu nyaris tak pernah berhenti. Ekspor produk inovasi semakin meningkat tajam. AS adalah biang produsen segala jenis inovasi mulai dari brand Apple, Microsoft, Amazon, Facebook, hingga Google.
Indonesia harus  memperkuat ekonomi berbasis inovasi dan  menjadikan perkembangan digital sebagai pilar dan  konsideran utama untuk membangun perekonomian bangsa
Pemerintah perlu merumuskan penyesuaian regulasi agar inovasi disruptif tidak dimatikan tetapi justru diperkuat, sembari memberi kesempatan pelaku bisnis konvensional agar bisa menyesuaikan diri.
Para stake holders (pemangku kepentingan) baik pemerintah maupun pelaku bisnis mengambil sikap terkait fenomena ekonomi digital ini. Tujuannya bukan sekedar bisa bertahan dari disrupsi, tetapi juga mengadopsi cara baru dalam menjalankan bisnis syariah baik di sektor keuangan maupun sektor riel.
Dalam dunia perbankan, banyak prediksi yang mengatakan bahwa dalam lima tahun mendatang, setidaknya 30% karyawan bank akan menurun, karena telah digantikan oleh teknologi digital. Fenomena ini juga akan terjadi di bidang usaha lain dan sektor riel lainnya bahkan instansi pemerintah dan swasta.
 Karena itu, pemerintah perlu segera mengukur seberapa besar pengaruh shifting perekonomian ini dalam menghilangkan pekerjaan tertentu, dan apakah warga yang kehilangan itu memperoleh pekerjaan baru sebagai penopang hidup. Di sisi lain  perlu juga mengukur seberapa banyak potensi penerimaan negara terganggu karena proses bisnis yang lebih efisien dan transparan, bahkannegara bisa segera menemukan peluang baru sumber penerimaan yang penting dari pembangunan akibat loncatan digital economy.
Perbankan syariah harus menyediakan layanan transkasi perbankan secara ekonomi digital dengan melahirkan fintech. Demikian pula industri keuangan non bank syariah, perusahaan pembiayaan, asuransi, modal venture, dan lembaga keuangan mikro syariah BMT.  Masyarakat ekonomi syariah tidak bisa melawan gencarnya fintech melainkan harus ikut belajar fintech dan menyediakan aplikasi fintech mikro syariah. Demikian pula pengembangan pariwisata syariah yang mulai muncul seharusnya memanfaatkan digital economy.
Digital ekonomi telah merambah ke  bidang currency,  yang biasa disebut virtual money atau crypto currrency seperti bitcoin. Kini setidaknya terdapat 154 perusahaan yang bergerak di bidang crypto currency.  Secara syariah konsep crypto currency masih banyak mengandung riba, maysir dan gharar.  Apabila pemerintah (Bank Sentral) telah mengatur dan mengizinkan cripto currency syariah berlaku,  maka  masyarakat ekonomi syariah seharusnya  menggagas lahirnya crypto currency syariah yang bebas riba, bebas spekulasi, maysir dan gharar. Prinsip kemudahan transkasi dan efisisensi yang dimiliki mata uang digital dapat dimanfaatkan sepanjang pemerintah (Bank Indonesia) telah berperan mengakuinya  dan mengawasinya, tentunya didahului keluarnya fatwa DSN MUI tentangnya. Satu hal yang perlu dicatat, seandainya cripto currency dapat di syariahkan, harapannya, masyarakat ekonomi syariah membuat sendiri crypto currency syariah khusus ASEAN, atau Asia Tenggara sebagaimana yang pernah saya gagas dalam FGD Virtual Currency yang digelar Republika, akhir Januari lalu.
(Penulis Presiden Direktur Iqtishad Consulting, Presiden Direktur PT Maqashid syariah Indonesia, Sekjen AMPROSINDO)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *